KOMPAS.com - Kata "oknum" kini makin banyak digunakan, baik itu di media sosial maupun artikel pemberitaan.
Kata ini biasanya muncul ketika ada pelanggaran hukum yang pelakunya berasal dari sebuah institusi, misalnya "oknum polisi" atau juga "oknum tentara".
Namun, karena seringnya terjadi kasus di mana penegak hukum justru menjadi pelaku pelanggaran hukum, istilah "oknum" pun mulai menjadi lelucon di masyarakat.
Baca juga: Mahasiswa di Maluku Utara Diduga Dianiaya Oknum Polisi hingga Dipaksa Minta Maaf ke Anjing
Berbagai meme dengan tema "oknum" pun bertebaran di internet.
— Si paling demo - Budi Setiawan (@strike_bravo_b) October 20, 2021
oknum jadi mayoritas pic.twitter.com/Y6bAD58UDG
— Meme & Rage Comic Indonesia (@mrcipage) December 5, 2021
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring versi 3.10, istilah "oknum" memiliki tiga arti:
Seno Gumira Ajidarma dalam tulisannya di Majalah Tempo, 19 Mei 2014, menyebutkan, kata "oknum" adalah kata yang paling tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Seno menyebutkan, para pewarta semasa Orde Baru sudah tahu, kalau ada alat negara seperti polisi atau militer menjadi berita karena melakukan tindak kejahatan, tanpa harus disuruh lagi mereka wajib menuliskannya "oknum polisi" atau "oknum ABRI" dan semacam itu.
"Tidak akan diingkari bahwa pelaku kejahatan bersangkutan adalah memang polisi atau anggota ABRI, tapi kata “oknum” digunakan untuk menggarisbawahi bahwa yang bersangkutan tidaklah mewakili lembaga kepolisian atau angkatan bersenjata itu sendiri," kata Seno.
"Dalam bahasa awam: tidak semua polisi seperti itu, seperti juga tidak semua anggota ABRI seperti itu," ujarnya.
Meski seharusnya tidak mewakili institusi tertentu, seperti misalnya Polri atau TNI, namun Seno mengatakan, sangat jarang ditemui kata tersebut digunakan untuk menyebut pelaku kejahatan di luar dua institusi tersebut.
Misalnya, sangat jarang ada istilah “oknum nelayan”, “oknum buruh”, “oknum pedagang”, “oknum dokter”, “oknum seniman”, “oknum pejabat”, “oknum mahasiswa”, “oknum peragawati”, atau “oknum pengacara”
"Artinya, tambahan kata “oknum” ini hanya berlaku bagi polisi dan militer. Seperti terdapat kesepakatan sosial sepihak bahwa, betapa pun, citra polisi dan militer itu tidak boleh secuil pun ternoda, sedangkan yang lain boleh-boleh saja," kata Seno.
Penggunaan kata "oknum" dalam ranah kehidupan masyarakat Indonesia tidak bisa dilepaskan dari politik bahasa yang dijalankan rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
Politik bahasa ini salah satunya dilakukan dengan cara menghaluskan makna kata yang dianggap tabu atau eufemisme.
Baca juga: Oknum TNI Tendang Suporter Arema, Panglima Sebut Masuk Ranah Pidana
Dilansir dari Antara, 30 Mei 2013, eufemisme adalah bagian dari politik bahasa Orde Baru.
Penaikan harga komoditas yang dikhawatirkan dapat memicu protes masyarakat diperhalus dengan istilah "penyesuaian harga".
Di ranah penegakan ketertiban dan keamanan, polisi memproduksi istilah "mengamankan" untuk menggantikan "menangkap".
Setelah Reformasi 1998, muncul kesadaran untuk menghapus politik bahasa yang ditanamkan begitu kuat oleh Orde Baru selama lebih dari 30 tahun.
Salah satunya, menghilangkan kata "oknum" untuk anggota TNI yang indisipliner.
Diberitakan Kompas.com, wacana ini diungkapkan oleh Bhatara Ibnu Reza, Direktur Operasional Imparsial dalam sebuah konferensi pers pada 31 Mei 2012.
"Menyebut kata oknum itu artinya permisif. Kami memisahkan antara orang itu terhadap seluruh kegiatannya. Tidak ada yang namanya oknum TNI melakukan pemukulan, adanya anggota TNI melakukan pemukulan," kata Bhatara.
Menurut Bhatara, dalam berbagai kasus indisipliner yang dilakukan anggota TNI, media massa serta publik mencap pelaku sebagai oknum.
Permasalahannya, satuan internal yang melakukan proses hukum terhadapnya diketahui tidak transparan dan akuntabel terhadap hasil penyelidikan internal.
"Apa Anda tahu akhir cerita dari 'Koboy Palmerah'? Enggak ada, kan? Cuma tahu sudah diproses. Mereka bilang, tentara juga manusia, tetapi masalahnya mereka manusia yang bersenjata," kata Bhatara.
Baca juga: Oknum TNI Penendang Suporter Arema FC Minta Maaf kepada Korban
Koordinator Riset Imparsial, Ghufron Mabruri menjelaskan, penggunaan kata oknum tidak sesuai dengan keadilan.
Ia mencontohkan seorang tentara yang tengah melakukan tugas di sebuah daerah. Tentara tersebut melakukan kekerasan dan publik mencapnya sebagai oknum tentara.
"Artinya, itu persoalan yang sifatnya individual dan tidak ada hubungannya dengan institusi. Padahal, dia tugas dalam konteks dinas sehingga, ketika melakukan kekerasan, ada upaya pelepasan dengan lembaga satuannya itu," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.