KOMPAS.com - Peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S memberikan dampak yang cukup besar bagi Indonesia. Selain memicu terjadinya Tragedi 1965-1966, peristiwa itu juga membuat sejumlah orang kehilangan kewarganegaraan.
Banyak orang Indonesia terpaksa berada di luar negeri dan tidak bisa pulang ke Tanah Air. Sebab, pada 1966 dilakukan pendataan ulang terhadap warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri.
Setelah berhasil merebut kekuasaan dari Presiden Soekarno, Soeharto melakukan pembersihan besar-besaran. Termasuk bagi orang Indonesia di luar negeri yang dilakukan skrining. Para WNI di luar negeri diuji loyalitasnya kepada rezim Orde Baru.
Mereka yang tidak mau mengakui Soeharto sebagai pemimpin negara yang sah, dituduh sebagai kader Partai Komunis Indonesia (PKI) atau simpatisan komunis, dan dicabut kewarganegaraanya.
Baca juga: Dokumen Otopsi Ungkap Tidak Ada Luka Penyiksaan pada Jenderal dan Korban G30S
Banyak dari mereka yang sebelumnya merupakan mahasiswa maupun diplomat di luar negeri dicabut paspornya oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) karena tidak mau tunduk pada Soeharto.
Mereka pun lantas menjadi eksil yang terkatung-katung di negeri orang tanpa memiliki kewarnegaraan dan harus berpisah dengan sanak saudara di Indonesia. Diperkirakan, terdapat ribuan orang yang menjadi eksil karena peristiwa 1965.
Berpuluh-puluh tahun para eksil 1965 tidak pernah mendapat keadilan atas hak mereka sebagai warga negara Indonesia dan terpaksa menjadi orang yang terbuang.
Baca juga: Melihat Sisi Lain Pembantaian 1965-1966 dari Film Jagal dan Senyap
Dalam Harian Kompas, 18 Juli 2005, peneliti utama LIPI dan ahli sejarah Indonesia, Asvi Warman Adam mengungkapkan, sebenarnya ketika Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi presiden ada upaya untuk mereparasi atau pemulihan masa lalu dengan mendengarkan suara korban Tragedi 1965-1966.
Saat itu Gus Dur mengutus Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra ke Eropa, mendengarkan keluhan ratusan eksil, yang setelah peristiwa 1965 dicabut paspornya oleh KBRI di berbagai negara.
Akan tetapi, Gus Dur tidak bertahan lama menjadi presiden dan tindak lanjut pertemuan itu tidak terwujud hingga kini.
Baca juga: Kelapangan Hati Gus Dur Saat Meminta Maaf atas Pembantaian 1965-1966