KOMPAS.com - Media sosial menjadi ruang yang paling bebas untuk melakukan kampanye hitam, propaganda, ujaran kebencian, dan sebaran hoaks menjelang Pemilihan Umum atau Pemilu 2024.
Berkaca dari Pemilu 2019, Bawaslu menerima 5.103 laporan konten yang dinilai melanggar aturan kampanye di media sosial. Angka itu belum termasuk konten-konten yang tidak terpantau dan terlaporkan.
Tak jarang, konten-konten di media sosial memperparah polarisasi dan perpecahan.
Lantas, bagaimana cara menyikapi propaganda politik di media sosial?
Analis komunikasi politik Universitas Paramadina Hendri Satrio menyarankan agar masyarakat selalu memeriksa ulang kebenaran informasi yang mereka terima di media sosial.
"Para pengguna media sosial itu perlu melakukan check dan recheck terhadap isu-isu di media sosial," kata Hendri kepada Kompas.com, Rabu (28/9/2022).
Propaganda politik kerap menyebarkan konten yang dirancang untuk menyulut emosi.
Maka, sebelum kalut dalam emosi yang dipancing di media sosial, ada baiknya untuk mengecek terlebih dahulu kebenarannya. Bisa melalui pemberitaan di media yang kredibel atau sumber resmi.
Selanjutnya, jika medapati informasi yang tidak ada pembuktiannya, maka tidak perlu disebarkan.
"Para pemilik akun media sosial lebih bertanggung jawab terhadap akunnya. Tidak menyebarkan berita bohong," ujar Hendri.
Propaganda di media sosial juga kerap menggunakan tendensi politik identitas untuk membangun citra baik atau buruk terhadap calon yang diusung.
Hendri berpendapat, politik identitas tidak terhindarkan dari pemilu. Namun, jika ini dimanfaatkan sebagai alat propaganda, maka dapat berpengaruh buruk.
"Politik identitas itu akan terus ada, apalagi di Indonesia ini kan identitasnya macam-macam. Yang tidak boleh dilakukan adalah menyalahgunakan politik identitas. Contohnya memberikan reward dan punishment," ucap Hendri.
Misalnya, narasi jika tidak memilih A maka akan masuk neraka. Contoh lain, jika tidak memilih B maka akan dikeluarkan dari suatu suku atau kelompok.
Pendapat lainnya juga disampaikan oleh dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Fajar Junaedi saat dihubungi terpisah oleh Kompas.com.