KOMPAS.com - Konten hoaks bernada provokatif serta unsur kekerasan marak beredar sepanjang bulan Ramadhan 2022.
Salah satu hoaks yang beredar, yakni foto sebuah warung makan yang diklaim dibakar karena berjualan di siang hari saat bulan puasa.
Dari hasil penelusuran, ditemukan bahwa peristiwa itu adalah kebakaran yang terjadi di dua rumah, bukan warung.
Selain itu, hasil penelusuran juga menemukan bahwa peristiwa kebakaran tersebut juga tidak berkaitan dengan bulan Ramadhan.
Baca juga: [HOAKS] Warung Makan Dibakar karena Berjualan di Bulan Puasa
Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono mengatakan, sebenarnya tidak ada korelasi antara bulan Ramadhan dengan masifnya penyebaran hoaks.
Menurut Drajat, meskipun bulan Ramadhan dianggap sebagai bulan suci oleh umat Islam, namun hal itu tidak berarti produksi konten hoaks akan berhenti.
"Karena dari segi penciptanya, penyebarnya, dan dari konsumennya masih tetap ada," kata Drajat saat dihubungi Kompas.com, Jumat (22/4/2022).
"Kalau yang saya lihat, dia tidak melihat ini Lebaran atau tidak, ini puasa Ramadhan atau bukan, karena eksistensi hoaks itu terlepas dari isu itu," tuturnya.
Penyebab mendasarnya, menurut Drajat, adalah karena para pelaku yang terlibat dalam pembuatan dan penyebaran konten-konten hoaks tidak bisa dikontrol.
"Dan juga tidak bisa diadakan edukasi terhadap pelaku-pelaku hoaks, pendistribusi, dan konsumen-konsumennya itu," ujar dia.
Ketika ditanya mengenai adanya unsur kesengajaan dari pembuatan dan penyebaran hoaks, Drajat menjawab bahwa pembuat konten tersebut pasti melakukannya dengan sengaja.
"Tetapi kalau dari segi konsumennya atau distributornya, nah ini kebanyakan yang tidak sengaja (menyebarkan). Karena mereka tidak tahu kalau itu hoaks," ucap Drajat.
Ia menambahkan, bisa juga yang terjadi adalah informasi lama yang sengaja diedarkan kembali, sehingga menimbulkan persepsi keliru di masyarakat.
"Kayak kemarin demo itu kan ada video yang beredar, ribuan massa di jalan. Ternyata kan itu videonya bukan saat ini. Itu betul-betul terjadi tapi pada waktu dulu," kata Drajat.
Menurut Drajat, konten-konten semacam itu masih jamak dijumpai di media sosial, dan pada akhirnya memengaruhi persepsi masyarakat terhadap suatu peristiwa.