KOMPAS.com - Mantan atlet badminton, Duthree Gigih Belatma, kini sukses dengan bisnisnya sebagai salah satu suplier dan distributor bulu bebek untuk bahan baku pembuatan kok badminton di Indonesia.
Kesuksesan tersebut tidak terlepas dari keputusannya Gigih -sapaan akrabnya- meninggalkan pekerjaannya sebagai pelatih badminton di India untuk fokus menyuplai bahkan memproduksi shuttlecock guna memenuhi kebutuhan kok badminton secara nasional.
“Gaji yang saya terima sebagai pelatih badminton di India cukup lumayan, tapi bisnis yang saya jalani sebagai sampingan juga mulai membesar. Ini buat saya dilema,” kata Gigih.
Baca juga: Tim Bulu Tangkis Indonesia Bertolak ke China, Bawa Misi Raih Gelar Piala Sudirman
Setelah kontrak kerja berakhir, pria kelahiran Bandung ini nekat untuk tidak memperpanjang kontraknya.
Alasannya, dia tidak bisa selamanya menjadi pelatih di negeri orang.
Ujung-ujungnya ia harus tetap pulang ke Indonesia, baik sebagai pelatih atau pembisnis.
“Ya, ketika bisnis sudah berjalan baik, dan laba yang diterima meningkat berkali-kali lipat dibandingkan dengan gaji yang diterima sebagai pelatih, ya akhirnya saya putuskan untuk pulang saja,” sambungnya.
Bulu tangkis dalam dunia olah raga Indonesia tentunya menempati posisi penting di hati masyarakat sebagaimana halnya sepak bola.
Oleh karena itu menurut Gigih bukanlah hal yang aneh ketika industri shuttlecock di Indonesia berdasarkan data tumbuh dengan menghasilkan omset hingga dua triliun rupiah setiap tahunnya.
Namun hal positif itu juga menjadi salah satu penyebab tidak terpenuhinya kuantitas dan kualitas bulu bebek lokal untuk mensuplai semua kebutuhan industri shuttlecock di Indonesia.
Kebutuhan bulu bebek dalam industri shuttlecock di Indonesia terbilang cukup besar.
Seperti provinsi Jawa Timur yang dikenal sebagai sentral dari industri kok bulu tangkis di Indonesia ini, menurut data dari KPPU menyebutkan bahwa 90 persen kebutuhan bulunya disuplai dari luar negeri (impor).
Namun menurut Gigih, mengimpor bulu bebek dari luar negeri bukan semata-mata karena kekurangan suplai dari dalam negeri, tapi juga karena kualitas bulu bebek lokal dinilai tidak cukup baik sehingga hanya dapat dimanfaatkan untuk kerajinan tangan.
Di bawah naungan CV GD Feather, pria berusia 28 tahun ini masuk ke dalam lingkaran salah satu importir dan distributor bulu bebek kualitas terbaik yang turut menyuplai kebutuhan bulu bebek sebagai bahan baku dalam industri shuttlecock di Indonesia.
Selain menyuplai bulu bebek untuk pengrajin dari merek-merek shuttlecoock yang terkenal, Gigih juga mulai memproduksi brand shuttlecook-nya sendiri bernama Belkhoin dan MP.
Dalam pengakuannya, di bulan April lalu, kok badminton dari kedua bermerek itu sudah berhasil ia ekspor ke Arab Saudi.
“Secara perdana, di April kemarin kita baru saja mengekspor Belkhoin dan MP ke Arab Saudi. Harapannya tentu produk lokal ini bisa diterima dengan baik, dan mereka melakukan repeat order,” jelas dia.
Berbicara seputar kualitas shuttlecook yang baik, menurut pria yang telah terjun ke dunia badminton dari usia 9 tahun ini berpendapat bahwa shuttlecook itu cocok-cocokan.
“Tidak ada merek shuttlecook yang bagus atau jelek. Shuttlecook itu seperti halnya merek rokok, cocok-cocokan di mulut masing-masing,” tutur dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.