KOMPAS.com - Setelah 19 tahun perjuangan tiada henti, akhirnya Indonesia berhasil merebut kembali Piala Thomas.
Thomas Cup pertama kali diboyong Indonesia oleh Tan Joe Hok, Ferry Sonneville dan kawan kawan pada tahun 1958.
Inilah garis awal dari perjalanan Indonesia menguasai bulu tangkis di tataran global.
Rentang waktu 19 tahun cukup lama bagi sebuah penantian gengsi atau martabat bulu tangkis Indonesia di panggung dunia.
Baca juga: Duduk Perkara Tanpa Merah Putih di Podium Juara Piala Thomas...
Itu sebabnya keharuan, kebanggaan bercampur dengan kebahagiaan dalam menyaksikan kemenangan 3-0 regu Indonesia atas China terlihat sangat melekat di dada siapa saja dan di mana saja orang Indonesia berada.
Sebuah kerinduan panjang yang terbayar sudah oleh perjuangan pantang menyerah dari tim bulu tangkis Indonesia yang sangat membanggakan.
Sayangnya, kebanggaan setinggi gunung diiringi juga dengan kekecewaan mendalam ketika menyaksikan ritual "victory ceremony".
Upacara penghormatan bagi sang juara berlangsung di tengah gegap gempitanya lagu kebangsaan Indonesia Raya yang mendirikan bulu kuduk itu, ternyata tidak terlihat Sang Saka Merah Putih berkibar bersama bendera kebangsaan sang runner-up dan bendera negara peringkat ke-3.
Pada titik ini pertanyaan muncul mengapa yang dikibarkan bukan bendera Merah Putih, bukan bendera Sang Saka.
Pada titik inilah secara berangsur angsur secara pelahan merambat muncul kabar yang sangat mengejutkan bahwa ternyata Indonesia tengah menjalani "hukuman".
Baca juga: Merah Putih Tak Berkibar di Podium Piala Thomas 2020, Kemenpora Kecolongan?
Hukuman yang antara lain dilarang mengibarkan bendera negara Republik Indonesia saat memenangkan sesi kejuaraan olahraga tingkat dunia.
Dilarang menyelenggarakan event olahraga internasional di wilayah hukum teritorial Republik Indonesia.
Tidak banyak yang tahu bahwa Indonesia tengah menjalani “hukuman” dari organisasi antarbangsa yang bernama WADA (World Anti Doping Agency).
Persoalannya adalah karena LADI (Lembaga Anti Doping Indonesia) telah dinilai oleh WADA tidak patuh pada penegakan standar anti-doping internasional.
Seperti biasa, pada situasi dan kondisi seperti ini tidak ada yang mau disalahkan dan juga sangat sulit berharap untuk munculnya ke permukaan siapa yang sebenarnya harus bertanggung jawab.